Minggu, 04 November 2007

KSJL PENTASKAN "TUTUP".

SMA Merdeka adalah sekolah swasta yang bernaung di bawah Yayasan Merdeka. Seiring perjalanan waktu, citra SMA Merdeka sebagai sekolah favorit, kini hanya tinggal sebagai kenangan. Sekarang, sekolah tersebut hanya dikenal sebagai “sekolah buangan”. Siswa-siswanya terkenal sebagai biang rusuh. Ketika beberapa siswa diciduk aparat lantaran terlibat peredaran narkoba, Ketua Yayasan Merdeka, Ibu Yevi, menjadi berang dan membulatkan tekadnya: “Pokoknya saya tidak mau tahu. Suka tidak suka, sekolah ini harus ditutup!”
Demikianlah sinopsis naskah teater yang dipentaskan Komunitas Seni Jalan Lain (KSJL) STKIP-PGRI Pontianak pada tanggal 17 dan 18 Maret yang lalu.

Antusisme penonton menyaksikan pementasan terbilang besar. Terbukti dari membludaknya penonton yang datang. Bahkan pada pertunjukan malam pertama, banyak penonton yang terpaksa kecewa karena tiket telah habis. Tika, sekretaris produksi menjelaskan bahwa jumlah tiket disesuaikan dengan keterbatasan kapasitas dan fasilitas gedung, aula STKIP-PGRI Pontianak. Meskipun disiasati demikian, banyak penonton yang mengeluhkan tantang panasnya hawa selama pertunjukan berlangsung. Untung saja Yeye dan kawan-kawan yang coba tampil total, dapat membuat penonton enggan beranjak sampai pertunjukan usai.

Eko Amriyono, penulis naskah sekaligus pimpinan produksi, menjelaskan bahwa ide dasar penulisan naskah “Tutup?” berawal dari keprihatinan terhadap sistem dan pelaksanaan pendidikan di tanah air. Misalnya dikotomi “sekolah favorit” versus “sekolah buangan”, pakaian seragam, kontroversi NEM, Mulok yang tidak bermuatan lokal dan lain sebagainya.
Senada dengan pernyataan tersebut, sutradara, Amrin Zuraidi Rawansyah menegaskan tentang betapa sistem pendidikan di tanah air yang terkesan coba-coba, yang memaksakan diri mengejar nuansa ke-Indonesia-an, justru semakin menjauhkan tujuan mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sementara itu, pelaksanaan sistem pendidikan nasional, dalam kenyataannya adalah “pelaksanaan seolah-olah”. Misalnya seolah-olah sukses, seolah-olah merata, seolah-olah pintar dan seolah-olah lainnya. Dalam kenyataannya pula, tutur Amrin, bukankah pelaku-pelaku KKN di negeri ini adalah produk sah sistem pendidikan?

Berkenaan dengan konsep penyutradaraan, Amrin menjelaskan bahwa dalam naskah “Tutup?”, konsep yang diterapkan adalah Realisme-Simbolik. Artinya, asas transformasi (pemindahan dengan pembesaran) semaksimal mungkin menyajikan kenyataan sesungguhnya dengan penekanan pada simbolisasi. Misalnya, ujar Amrin mencontohkan, adegan murid badung (diperankan Asep) yang terserang “penyakit aneh”. Penyakit tersebut menjalar mulai dari telinga ke seluruh tubuhnya. Muasal penyakit itu adalah lantaran telinganya yang selalu mencerap indoktrinasi dari guru yang lumayan killer (Een).

Pada adegan yang lain, ada staf Tata Usaha (Feni) yang selalu menguntit Kepala Sekolah (Adi). Namun ketika ditanya tentang makna adegan tersebut dikaitkan dengan tema cerita, Amrin menjawab sumringah: “Kita percayakan pada penonton memaknainya.”

Sebelum menutup pembicaraan, Topik Hidayat yang merupakan Tim Usaha dan Dana, mewakili rekan-rekannya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada semua pihak yang telah memberikan dukungan. Di antaranya kepada Lembaga STKIP –PGRI Pontianak beserta segenap civitas akademika, Ketua DPRD Kota Pontianak, PT.HM Sampoerna , Percetakan Indotama, seniman-seniman dan sanggar-sanggar seni di Kota Pontianak, Harian Equator, serta segenap kalangan yang telah membantu, demi mewujudkan kemajuan masyarakat yang ditandai dengan penghargaan terhadap seni, seniman dan proses berkesenian.
readmore »»